header pta Baru

443. Tahulah Pian? “Perjalanan Hukum Islam di Indonesia”

Written by Memen A. Husni, SE on . Posted in Muara Teweh

Written by Memen A. Husni, SE on . Hits: 416Posted in Muara Teweh

Tahulah Pian?

Perjalanan Hukum Islam di Indonesia”

Muara Teweh|pa-muarateweh.go.id

Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri sebagai negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Sebagian hukum Islam telah berlaku di Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam. Adanya Peradilan Agama dalam Papakeum (kitab) Cirebon merupakan salah satu bukti. Demikian pula, kerajaan Sultan di Aceh, kerajaan Pasai, Pagar Ruyung dengan Dang Tuanku Bundo Kanduang, Padri dengan Imam Bonjol (Minangkabau), Demak, Pajang, Mataram, bahkan juga Malaka dan Brunei Semenanjung Melayu (Ramulyo, 1985: 53).

Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia mempengaruhi pandangan hidup bangsa ini sepanjang sejarah, termasuk dalam bidang hukum. Kenyataan ini dilihat oleh para ahli hukum Belanda sendiri sehingga mendorong Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927) dan kawan-kawan memperkenalkan teori receptio in complexu bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Artinya, bagi orang Islam Indonesia, hukum Islamlah yang berlaku baginya, sekalipun terdapat keragaman dalam praktiknya.

Posisi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah tentang keberadaan Piagam Jakarta dengan tujuh kata di dalamnya: “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Walaupun draf Piagam Jakarta itu sudah disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 untuk menjadi preambule Konstitusi RI, namun pada tanggal 18 Agustus 1945 (sehari setelah proklamasi), tujuh kata tersebut dicoret dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan dicoretnya tujuh kata tersebut, tentu saja berdampak pada keberlakuan hukum Islam secara legal formal di Indonesia. Hingga dua dekade pertama sejak merdeka (1945 – 1965), peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi hukum Islam hampir tidak ada yang signifikan. Paling-paling hanya berkenaan dengan soal administrasi dan pencatatan seputar masalah perkawinan.

Pembicaraan mengenai posisi hukum Islam dalam konstitusi muncul kembali pada sidang Konstituante (1957-1959) yang mempersiapkan UUD baru bagi Indonesia. Diskusi dalam sidang tersebut mengalami kebuntuan karena tidak tercapainya kesepakatan tentang dasar Negara dan posisi tujuh kata Piagam Jakarta dalam draf konstitusi yang dibahas oleh anggota Konstituante. Untuk mengatasi krisis konstitusional tersebut, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang antara lain berisikan diktum pernyataan kembali ke UUD 1945. Pernyataan ini didahului oleh sebuah konsideran yang meyakini bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. (aes)

Hubungi Kami

Kantor Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya

Jl. Cilik Riwut Km. 4.5 (73112) Palangka Raya 73112 Telp (0536) 3222837 Fax (0536) 3231746

Tautan ke Situs Sosial Media