“Diam Yang Menyakitkan”: Menakar Sensitivitas Hakim Dalam Menilai Silent Treatment Sebagai Alasan Cerai | Oleh : Yustisi Yudhasmara, S.H.,M.H.
“Diam Yang Menyakitkan”: Menakar Sensitivitas Hakim Dalam Menilai Silent Treatment Sebagai Alasan Cerai
Oleh : Yustisi Yudhasmara, S.H.M.H (Hakim Pengadilan Agama Parigi)
A. Pendahuluan
Dalam dinamika rumah tangga konflik merupakan sesuatu yang lumrah terjadi. Bahkan dalam beberapa kasus yang di hadapi oleh seorang Hakim Peradilan Agama sebuah konflik dalam rumah tangga bisa di picu dari hal-hal kecil, bahkan hanya berawal dari sebatas “mendiamkan”. Tidak jarang pilihan mendiamkan diplih sebagai alternatif lari dari konflik oleh pasangan. Konflik yang muncul dalam rumah tangga tidak di selesaikan secara terbuka dan sehat bahkan dengan jalan “mendiamkan” inilah keretakan yang terjadi akan lebih dalam. Sikap “Mendiamkan” atau biasa di kenal dengan istilah silent treatment. Menurut 1 Psikolog klinis Veronica Adesla menjelaskan, silent treatment diartikan sebagai perilaku mendiamkan, tidak mengajak bicara ataupun menganggap keberadaan orang lain. Biasanya, hal ini dilakukan seseorang ketika sedang marah atau bertengkar dengan orang yang didiamkan. Meski tidak melibatkan kekerasan fisik silent treatment kerap menimbulkan luka psikologis mendalam seperti perasaan terabaikan, kesepian, dan tidak di hargai yang pada titik kulminasi dapat memicu perceraian.