Membedah Temuan: Upaya Peningkatan Kemampuan Teknis Aparatur Peradilan Agama

Pembinaan oleh YM Dr. Imron Rosyadi, S.H., M.H., Hakim Agung Mahkamah Agung RI
Sukamara, 29 Oktober 2025 – Dalam rangka memperkuat profesionalisme dan kemampuan teknis aparatur di lingkungan peradilan agama, Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Yang Mulia Dr. Imron Rosyadi, S.H., M.H., memberikan pembinaan bertajuk “Membedah Temuan: Upaya Peningkatan Kemampuan Teknis Aparatur Peradilan Agama.”
Kegiatan pembinaan ini diikuti oleh para Ketua, Panitera, dan aparatur peradilan agama di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Banjarmasin dan PTA Palangka Raya. Acara berlangsung pada Rabu, 29 Oktober 2025, bertempat di Meeting Room Grand Qin Hotel Q Mall, Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Suasana kegiatan berlangsung hangat dan penuh antusiasme dari seluruh peserta yang hadir, baik secara langsung maupun daring.
Dalam arahannya, YM Dr. Imron Rosyadi menekankan pentingnya aparatur peradilan untuk memahami serta menindaklanjuti setiap temuan yang muncul dalam pelaksanaan tugas teknis di lapangan. Pembinaan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga membedah kasus-kasus konkret yang sering dihadapi dalam praktik peradilan.
Salah satu materi yang disampaikan adalah mengenai wasiat wajibah, yang secara yuridis diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Beliau menjelaskan bahwa wasiat wajibah dapat diberikan kepada anak angkat dengan jumlah maksimal sepertiga dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Secara ontologis, konsep ini mencerminkan prinsip keadilan distributif terhadap anak angkat, terutama jika anak tersebut berperan positif selama pewaris masih hidup. Hal ini, menurut beliau, mencerminkan keadilan substansial yang sejalan dengan anatomi perkara di lapangan.
Selain itu, YM Dr. Imron Rosyadi juga menyoroti perkara hak asuh anak ketika keberadaan tergugat (mantan istri) tidak diketahui. Dalam situasi di mana anak justru berada dalam pengasuhan ibu dari tergugat di kota lain, maka gugatan seharusnya diajukan dengan mendudukkan ibu tergugat sebagai pihak dalam perkara, karena secara faktual menguasai anak. Dalam kondisi demikian, gugatan yang tidak memperhatikan hal tersebut patut dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa peningkatan kemampuan teknis aparatur peradilan tidak hanya terbatas pada pemahaman hukum acara dan substansi hukum Islam, tetapi juga mencakup penguasaan teknologi informasi, manajemen perkara, serta pelayanan publik yang berintegritas dan akuntabel.
Kegiatan pembinaan ditutup dengan sesi diskusi dan tanya jawab interaktif, di mana para peserta menyampaikan pengalaman serta kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas di satuan kerja masing-masing. YM Dr. Imron Rosyadi memberikan arahan solutif sekaligus motivasi agar setiap aparatur mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan tuntutan reformasi birokrasi peradilan.
Melalui kegiatan ini, diharapkan aparatur peradilan agama semakin memahami pentingnya menindaklanjuti setiap temuan sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas kinerja, profesionalitas, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan agama. (ZBA/CA/redpaskr)