Mengisi Ruang-ruang Optimalisasi
dalam Perkara Pengesahan Perkawinan
Ghazian Luthfi Zulhaqqi, S. H.
(Hakim Pengadilan Agama Kuala Kapuas)
Selain kepentingan administratif dan legalitas hukum, adanya aturan mengenai pencatatan sebuah perkawinan juga dimaksudkan untuk lebih mendekatkan pada kemaslahatan.[1] Baik suami maupun istri, bahkan anak keturunan yang dihasilkan dari perkawinan tersebut, akan lebih terlindungi hak-hak keperdatannya ketika suatu perkawinan dicatatkan. Meski jumhur ulama tidak menempatkannya pada bagian dari rukun nikah, akan tetapi pencatatan perkawinan menduduki posisi yang sangat penting. Demi tujuan tersebut, negara sampai menyediakan pintu untuk pengesahan perkawinan yang terlanjur dilaksanakan tanpa dicatatkan.[2]
Namun demikian, pada tataran praktis, proses penanganan perkara isbat nikah masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, utamanya menyangkut 2 hal. Pertama pada tahap pra persidangan. Aspek yang layak untuk disorot pada tahap ini adalah pada pelaksanakan pengumuman sebelum persidangan dimulai yang jika dilihat dari kacamata realitas hari ini dinilai belum efektif. Kedua, muatan pada posita permohonan dan pemeriksaan perkawa juga tak jarang masih menyisakan jurang penyelundupan hukum yang cukup menganga. Setidaknya, kedua aspek tersebut masih menyisakan ruang-ruang untuk optimalisasi.
Sayangnya, kedua soal tadi tampak tak banyak dibincang. Diskursus ihwal perkara isbat nikah tidak terlampau ramai jika dibandingkan dengan jenis perkara lain. Padahal, isbat nikah tetaplah sebuah perkara yang penting untuk terus diperbincangkan. Mengingat implikasi dari disahkannya sebuat perkawinan tidak hanya menyangkut status dari 2 orang saja, bukan hanya tentang perubahan dari ‘di bawah tangan’ menjadi ‘di atas kertas’. Lebih dari itu, akibat hukum juga kepada anak keturunanya, hak kewarisan, harta bersama dan bahkan kepentingan orang lain yang tidak tergabung sebagai pihak dalam perkara tersebut.
Ihwal Pengumuman
Salah satu yang membuat perkara pengesahan perkawinan menarik adalah, disediakannya ruang untuk mengumumkan adanya perkara isbat nikah kepada publik sebelum persidangan dimulai. Dalam Buku II diatur, Majelis hakim kemudian memerintahkan Jurusita/Jurusita Pengganti untuk mengumumkan dalam jangka waktu 14 hari pada media cetak atau elektronik atau setidak-tidaknya papan pengumuman pengadilan. Prosedur semacam ini tidak ditemukan pada jenis perkara lainnya, selain pada panggilan umum (ghaib).
Akan tetapi, justru pada bagian inilah letak potensi persoalan itu muncul. Soal cara dan jangka waktu pengumuman, relevansi pada mekanisme dan platform yang digunakan untuk memuat pengumuman tersebut dengan konteks zaman saat ini. Selain itu, apakah adanya mekanisme pengumuman tersebut, baik pada tataran normatif maupun praktis telah satu tarikan napas dengan tujuan yang sesungguhnya.
Pada prinsipnya, lahirnya rentang 14 hari pengumuman berfungsi sebagai mekanisme perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang hak dan kepentingan hukumnya mungkin saja akan terlanggar dengan adanya perkara tersebut. Namun, diakui atau tidak, teknis pelaksanaannya tidak lagi relevan dengan kondisi zaman, tidak efektif dalam mancapai tujuan yang diinginkan. Sebab sekalipun pengumuman diamanatkan pada Buku II untuk dilaksanakan selama 14 hari, tetapi pada das sein yang tersaji, pengumuman melalui radio misalnya, sebagai yang paling jamah dipilih Pengadilan, tidak dilakukan setiap hari selama 14 hari penuh oleh pihak radio, tetapi hanya sekali di mula. Sehingga, alih-alih pihak-pihak yang berpotensi dirugikan terpapar informasi dalam pengumuman tersebut, justru sedikit pun tak tersentuh. Sementara di sisi lain, pemanfaatan website pengadilan maupun media sosial sebagai terjemahan dari “media elektronik” belum banyak dipilih dengan berbagai alasan.
Media Radio, yang berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024, ‘hanya’ memiliki jumlah pendengar di Indonesia sekitar 25 juta orang, mewakili sekitar 8,6% populasi.[3] Angka-angka tersebut menjadi wajah betapa radius tebar informasi yang mampu dijangkau oleh radio kian terlampau kecil. Perubahan konteks zaman semestinya menjadi pemantik adanya peralihan medium, sebagaimana radio kala itu sebagai pengembangan dari media dalam bentuk cetak.
Tak ubahnya dengan papan pengumuman pengadilan. Pada mulanya, rasionalisasi memilih papan pengumuman pengadilan adalah karena dulu, letak dan posisi gedung pengadilan tidak seperti kini: berada di dalam pagar melingkar, gerbang yang terjaga dan lahan parkir yang terbentang di antara jalan masuk dengan gedung pengadilan. Sementara pada masa dulu, gedung pengadilan berada relatif dekat dengan jalan, tak berpagar dengan papan pengumuman berada di depan kantor, sehingga siapa pun yang melintas dapat menjangkau isinya dengan mudah.
Sementara hari ini papan pengumuman tak lagi berada di depan gedung, di luar pagar pengadilan. Ia ditempatkan di dalam kompleks gedung pengadilan, bahkan di dalam ruang pelayanan. Orang yang tak benar-benar memiliki kepentingan dan/atau tidak secara sengaja berangkat dari rumah, menuju pengadilan dan masuk ke dalamnya, tidak akan dapat melihat informasi pada papan pengumuman tersebut. Dengan kata lain, daya jangkaunya juga secara sendirinya terlimitasi.
Baik radio dan papan pengumuman, sama-sama menyisakan ruang-ruang optimalisasi. Pada bagian ini, ada aspek penting dari pengumuman yang terlupakan, yaitu aksesibilitas. Radio bersifat sangat lokal, sama halnya dengan pada papan pengumuman pengadilan. Keduanya jelas tidak akan menjangkau mereka yang berada di luar kota, apalagi luar negeri. Ini menjadi gambaran, betapa realitas masih berjarak dengan tujuan.
Pada bagian ini, Penulis menawarkan satu kerangkan konseptual alternatif berupa platform berbasis website yang terpadu dan dikelola oleh Badilag. Melalui lama khusus bertajuk Pengumuman Perkara Isbat Nikah pada situs Badilag yang memuat seluruh data perkara isbat nikah dari Pengadilan Agama skala nasional dirasa akan memperluas skala keterjangkauan informasi. Di dalamnya dapat dimuat informasi tentang nomor perkara, nama pemohon/para pemohon, satuan kerja dan tombol “keberatan” yang dapat langsung mengarahkan ke sebuah halaman formulir. Formulir tersebut memuat identitas pihak yang dirugikan terhadap perkara tersebut, serta deskripsi singkat alasan keberatannya. Data pihak yang keberatan terintegrasi dengan notifikasi SIPP masing-masing satuan kerja. Dengan demikian, setiap orang, baik di dalam yurisdiksi pengadilan perkara tersebut, mau pun di luar kota bahkan di luar negeri, dapat dengan mudah mengakses dan mengambil tindakan, sebelum jangka waktu 14 hari tersebut habis.
Dengan diumumkan melalui website atau laman khusus pada website Badilag, tujuan dari pengumuman itu akan lebih mendekatkan pada tujuan. Setiap saat, baik dalam rentang 14 hari sebelum pemeriksaan di mulai, bahkan setelah perkara diputus pun, masyarakat dan orang yang berkepentingan tetap dapat mengakses informasi tersebut. Dengan demikian, pada setiap tahapan, baik pra-persidangan, saat persidangan sedang berjalan maupun setelah diputus, pihak yang merasa dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan upaya hukum.
Ihwal Dokumen dan Pemeriksaan
Pada prinsipnya, perkara Pengesahan Perkawinan atau isbath nikah dapat didaftarkan melalui 2 pintu. Pintu pertama ialah contentious dan kedua adalah voluntair. Telah diatur di dalam buku II, permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh kedua suami isteri atau diajukan suami/istri telah ditinggal mati oleh suami/istrinya dan tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya bersifat voluntair dengan produknya berupa penetapan. Apabila isi penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka suami dan isteri bersama-sama atau suami, isteri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
Sementara ketika perkara tersebut diajukan oleh salah seorang suami atau isteri saja, baik karena salah satu telah meninggal atau karena sebab lainnya, harus bersifat contentious atau gugatan dengan mendudukkan isteri atau suami yang tidak bersama-sama mengajukan permohonan tersebut sebagai pihak Termohon. Selain dalam kondisi tersebut, isbat nikah contentious juga dapat terjadi dalam hal diajukan oleh anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan, dengan mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon. Terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
Menariknya, potensi lahirnya persoalan pada perkara isbat nikah justru sering kali bukan dari perkara gugatan, tetapi dari perkara yang masuk melalui pintu permohonan atau voluntair. Dalam perkara isbat contentious, para pihak telah didudukkan secara proporsional, sementara dalam perkara permohonan, karena sifatnya adalah kepentingan sepihak dan tanpa adanya sengketa atau lawan, terbuka kemungkinan adanya pihak yang tidak semestinya didudukkan sebagai pihak, tetapi tidak disembunyikan.
Tidak sedikit yang menurun kewaspadaannya saat memeriksa perkara yang bersifat voluntair dikarenakan sifatnya yang ex-parte dan tidak adanya sengketa maupun lawan. Tahapan persidangan, termasuk pembuktian tetap dilampaui, namun kurang selami dan digali fakta-fakta lain secara mendalam. Padahal Buku II telah mewanti-wanti, bahwa untuk menghindari adanya penyelundupan hukum dan poligami tanpa prosedur, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah harus berhati-hati dalam menangani permohonan itsbat nikah.
Kondisi tersebut sedikit diperparah dengan petugas pembuatan dokumen permohonan yang terkadang kurang cermat dalam menyusun posita. Sejak awal, ketika kronologis peristiwa yang akan dituangkan dalam posita kurang diselami dan didalami akan kian memuluskan niat sebagian pihak untuk menyelundupkan hukum. Padahal jika tiap keterangan itu disimak dengan seksama, petugas dapat menajamkan pertanyaan pada beberapa bagian yang krusial. Misalnya, terhadap perbandingan antara usia para pemohon dengan waktu perkawinan dilaksanakan. Meskipun padatnya kuantitas pengguna layanan mungkin bisa saja menjadi pemicu menurunnya kewaspadaan petugas pembuatan dokumen permohonan dalam menggali fakta-fakta.
Oleh karenanya, perlu adanya sinergitas antara Hakim dengan petugas pembuat dokumen permohonan. Dari sisi petugas, pembinaan dan monitoring serta sevaluasi yang berkala diharapkan tidak hanya menyentuh aspek kinerja yang berhubungan dengan implementasi MoU dan administrasi, namun juga hal-hal yang lebih teknis. Hakim dituntun untuk tidak terlampau buru-buru. Sementara dari sisi pemeriksaan perkara, Hakim dituntun untuk tidak terlampau buru-buru dan hanya mendasarkan pada dokumen permohonan ansih, namun juga secara teliti menggali fakta-fakta lain yang mungkin saja tidak terungkap atau sengaja ditutupi oleh para pihak. Dengan demikian, tujuan awal dari adanya perkara pengesahan perkawinan, yaitu untuk memberikan hak dasar bagi masyarakat dalam administrasi kependudukan dan pengakuan secara formil perkawinannya tidak hanya memberi manfaat kepada pihak berperkara, namun juga tidak merugikan pihak lain di luar perkara.
[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakara, 2000, hlm. 107
[2] Ibid., hlm. 8.
[3] Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
572. Rapat Tim Website dan Berita PA Pulang Pisau Selanjutnya
573. Kegiatan Rutin Apel Jumat Sore di Pengadilan Agama Pulang Pisau Sebelumnya