Harap Tunggu...

» Kuala Kapuas » HUT Peradilan Agama ke-143: Sebuah Momentum Merawat ‘Ibu Kandung’
HUT Peradilan Agama ke-143: Sebuah Momentum Merawat ‘Ibu Kandung’
  

Oleh : Ghazian Luthfi Zulhaqqi, S. H. (Hakim Pengadilan Agama Kuala Kapuas)

 Tahun ini, Peradilan Agama telah genap berusia 143 tahun. Lebih dari 1 abad berdiri, lembaga ini telah pesat berkembang dari mulanya. Sejak terbentuk pada 1882, telah banyak warta baik, cerita dan tulisan yang menarasikan perihal capaian dan prestasi, maupun gagasan dan inovasi yang ditorehkan oleh Peradilan Agama. Baik lewat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Dirjen Badilag), maupun satuan kerja Pengadilan Agama di tingkat pertama dan banding. Dampaknya bahkan tak hanya untuk dan dirasakan oleh warga pengadilan agama sendiri, tetapi turut diadopsi dan diadaptasi.

Peradilan Agama hari ini: berada satu atap di Mahkamah Agung, meraih independensinya sendiri dalam sistem ketatanegaraan, kewenangan yang kian luas yang kemudian dijawab dengan sederet dampak konkret dan prestasi, merupakan buah dari tirakat panjang para ulama dan pendahulu. Jauh sebelumnya, secara praktikal ia telah ada pada kerajaan-kerajaan Islam, mulai dari Aceh, Banten, Gowa, Mataram hingga Banjar dengan kerapatan qhadinya. Praktik Peradilan Agama hadir untuk mengurai problematika nyata pada lingkup personen recht yang terjadi di tengah masyarakat muslim kala itu. Peradilan agama telah digagas dan dijalankan seiring dengan masuknya Islam di nusantara, rangkaian perjalanan panjang yang harusnya membuat kita kian mantap untuk pantang memunggungi sejarah atau merusak lembaga ini.

Dari masa ke masa, gelombang tantangan tak pernah berhenti menerpa Peradilan Agama. Bahkan upaya-upaya untuk menghapuskan Peradilan Agama nyata terjadi, dengan cara berangsur mengurangi kewenangannya. Seperti pada medio awal praktik peradilan agama ada tahun 1830, Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah landraad (pengadilan negeri). Kala itu, sepanjang tidak ada persetujuan landraad, putusan peradilan agama tidak dapat dilaksanakan, tidak ada artinya. Belanda juga tak memberikan kewenangan kepada pengadilan agama untuk melakukan penyitaan barang dan uang, hingga mengurusi sengketa kebendaan.

 

Pada kurun berikutnya, tantangan tetap ada, namun berganti rupa. Peradilan Agama mengalami pasang-surut, baik dalam tataran praktis maupun kelembagaan. Teramat panjang jika seluruhnya dikisahkan. Untungnya, berkat pertolongan Allah yang diiringi dengan komitmen para pendahulu, Peradilan Agama tetap bertahan bahkan kian tumbuh dan membiak. Kini ada 30 Pengadilan Tingkat Banding dengan lebih dari 300 pengadilan tingkat pertama tersebar di seluruh Indonesia. Sejak 1 Agustus 1882 yang lalu, ketika Raja Willem III mengeluarkan keputusan yang membentuk peradilan agama di Jawa dan Madura dengan nama “Piesterrade” dan kemudian dimuat dalam Staatsblad 1882 nomor 152 dan 153, Peradilan Agama telah jauh berkembang.

Namun, hal itu bukan berarti tanpa adanya goncangan dan cobaan. Sebagaimana disitir sebelumnya, tantangan tetap ada, hanya berganti rupa. Hari ini, isu dan tantangan telah berubah. Tak lagi soal pengkerdilan kewenangan, kemandirian dan independensi maupun upaya menghapus eksistensi secara kelembagaan. Awan hitam yang kini tengah menyelimuti instusi peradilan secara umum di Indonesia adalah ihwal integritas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga peradilan kita hari ini masih menyimpan sederet pekerjaan rumah terutama berkaitan dengan integritas.

Dalam banyak kesempatan, kita sering menemukan dan mendengar problematika seputar hal ini dibingkai dengan istilah ‘kasar, kasir dan kasur’. Pelanggaran-pelanggaran yang berganti tahun hampir terus ada dan sudah tentu tidak sama sekali merepresentasikan kebijakan secara lembaga. Saya lebih setuju untuk menyebut ini sebagai ulah dari mereka yang gagal memaknai amanah dan pekerjaan dalam konteks yang benar, menyimpangi niat luhur serta abai terhadap jalan terjal yang telah ditempuh para pendahulu. Naudzubillah.

Ragam upaya sejatinya telah ditempuh oleh Mahkamah Agung, termasuk oleh Pengadilan Agama lewat Direktorat Jenderal Peradilan Agama, baik secara struktural kelembagaan maupun kultural. Tidak hanya untuk menyudahi kabar buruk yang ada perihal penyimpangan integritas, tetapi juga untuk merawat dan memajukan lembaga, agar citra dan kepercayaan baik itu kembali. Pembinaan dan pengawasan secara berkala, pelayanan yang telah terpadu dan satu pintu, lahirnya kebijakan terkait manajemen berperkara dan persidangan secara elektronik secara total, dan ragam lainnya telah dilakukan.

Namun demikian, semua itu pada akhirnya tetap kembali kepada masing-masing individu. Apakah ia mampu menginsafi dan berkehendak untuk menjadi antikatalis dari perilaku destruktif, atau justru menyambung mata rantai yang kian memperpanjang dan memperberat perjuangan penguatan integritas tersebut.

Pertanyaan itu ditujukan kepada kita semua, warga peradilan, khususnya peradilan agama. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka pintasan yang mungkin ditempuh adalah dengan mengingat kembali untuk apa praktik dan lembaga peradilan ini lahir juga zaman yang panjang dan jalan berliku yang ditempuh para pendahulu. Selain itu, hal paling fundamental lainnya adalah dengan mendasarkan pilihan sikap hidup kita pada nilai-nilai luhur, norma dan aturan yang ada.

Sebab sejak awal, secara sadar kita telah memilih untuk menjadi ahli waris dari sistem, praktik dan lembaga peradilan agama yang kita cintai bersama ini. Maka tanggung jawab itu melekat pada kita hingga purna. Apalagi, merawat peradilan agama sama artinya dengan menunaikan salah satu isi dari risalah al-Qadha’ Umar bin Khattab kepada para hakim, khususnya Abu Musa al-Asy’ari dimana beliau menyebut fa innal qadha a faridhatun muhakkamatun, wa sunnatun muttaba’atun.

Meskipun, merawat institusi sebesar ini, tentu mustahil dilakukan seorang diri. Tak juga cukup kita serahkan pada para pimpinan semata. Perlu kerja kolektif lewat pertisipasi merata dari seluruh warga peradilan. Integritas tak akan optimal jika hanya dikerjakan satu-dua orang, tak boleh hanya berhenti pada semboyan, apalagi jauh dari keseharian. Ia harus terinternalisasi ke dalam diri tiap warga peradilan agama, di dalam maupun di luar pagar pengadilan.

Kini ‘bola’ itu ada pada kita. Kita harus berani, atau setidaknya terus mencoba untuk berani lewat intensi yang teguh dalam rangka selalu merawat peradilan agama sebagai ibu kandung kita. Di tengah tantangan zaman dan godaan yang kian beragam, kita harus jeli menemukan jalan untuk tetap bertahan pada nilai luhur yang telah sejak lama dibangun dan diperjuangkan bernama integritas. Kita mulai dari diri sendiri, kita mulai dari saat ini.

Peringatan hari ulang tahun Peradilan Agama adalah momentum yang tepat untuk muhasabah dan menata kembali niat kita. Untuk siapa kita berkhidmat, untuk apa kita berbuat dan bagaimana seharusnya kita bersikap. Lewat tulisan ini, moga-moga selipan harapan itu dapat terwujud. Amin.

Selamat berulang tahun, ‘Ibu Kandung’!