Sejarah Pengadilan Tinggi Agama

Posted in Profil Pengadilan

Posted in Profil Pengadilan

WhatsApp Image 2024 05 17 at 133729

SEJARAH PENGADILAN TINGGI AGAMA PALANGKA RAYA 

Perjalanan kehidupan Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.

Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut.

Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).

Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.

Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar'i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).

Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.

Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.

Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang Pengadilan Agama yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.

Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36).

Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadahlbadan yang besnat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3).

Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 - 37).

Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indone¬sia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :

  • Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa";
  • Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara;
  • Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
  • Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.
  • Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.

Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).

Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.

Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagaimana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tugas raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti Kabjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta'in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dari alumni lAIN dan Perguruan Tinggi Agama.

Sebelum terbentuknya Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya, enam Pengadilan Agama di wilayah Propinsi Kalimantan Terngah berada di bawah Yurisdiksi Mahkamah Syar'iyah Propinsi di Banjarmasin yang juga mewilayahi Samarinda, Pontianak, Palangka Raya dan Kotabaru. Kemudian pada tahun 1982 Mahkamah Syar'iyah Propinsi yang semula di Banjarmasin di pindah ke Samarinda (Kalimantan Timur) yang sebutannya berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Samarinda dengan wilayah hukum Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.

Pada tahun 1986 dibentuklah Cabang Pengadilan Tinggi Agama di Palangka Raya berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 207 Tahun 1986 dengan wilayah hukum meliputi Propinsi Palangka Raya berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1987.

Kemudian pada tanggal 14 Nopember 1987 diadakan peresmian Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya dan serah terima wilayah hukum di Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya oleh H. Purwoto Ganda Subrata, S.H. (Wakil Ketua Mahkamah Agung RI.) yang dihadiri oleh Gubernur Palangka Raya (H. Gatot Amrih, S.H.), Dirjenbinbaga Islam (Prof. H. Zaelani Dahlan, M.A.), Dirjenbapera Islam (H. Muchtar Zarkasyi, S.H.) dan unsur Muspida Palangka Raya.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, maka kedudukan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya semakin luas dan diakui penuh sebagai Pengadilan Tingkat Banding dalam wilayah hukum Propinsi Palangka Raya, sebagaimana diatur dalam pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sehingga kewenangan Peradilan Agama semakin bertambah.

Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2016, wilayah Palangka Raya terbentuk 7 Pengadilan Agama baru yang diresmikan pada tanggal 22 Oktober 2018, dan pada tanggal 26 Oktober 2018, seluruh personel pegawai Pengadilan Agama baru tersebut dilantik dan diambil sumpah di Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan   Tengah. Dengan pelantikan tersebut, maka mulai bulan November Tahun 2018 telah beroperasi. Adapun ke 7 (tujuh) Pengadilan Agama tersebut sebagai berikut:

  1. Pengadilan Agama Nanga Bulik
  2. Pengadilan Agama Sukamara
  3. Pengadilan Agama Kuala Pembuang
  4. Pengadilan Agama Kasongan
  5. Pengadilan Agama Tamiyang Layang
  6. Pengadilan Agama Pulang Pisau
  7. Pengadilan Agama Kuala Kurun

Dengan bertambahnya Pengadilan Agama baru tersebut, maka wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya bertambah menjadi 13 Pengadilan Agama yang terdiri dari :

  1. Pengadilan Agama Palangka Raya Kelas I A
  2. Pengadilan Agama Pangkalan Bun I B
  3. Pengadilan Agama Sampit Kelas II
  4. Pengadilan Agama Muara Teweh Kelas II
  5. Pengadilan Agama Kuala Kapuas Kelas II
  6. Pengadilan Agama Buntok Kelas II
  7. Pengadilan Agama Nanga Bulik Kelas II
  8. Pengadilan Agama Sukamara Kelas II
  9. Pengadilan Agama Kuala Pembuang Kelas II
  10. Pengadilan Agama Kasongan Kelas II
  11. Pengadilan Agama Tamiyang Layang Kelas II
  12. Pengadilan Agama Pulang Pisau Kelas II
  13. Pengadilan Agama Kuala Kurun Kelas II

Dari beberapa dikade tersebut sudah beberapa kali pergantian tampuk kepemimpinan sebagai Ketua yang telah berperan dalam meningkatkan kemajuan Pengadilan Tinggi Agama Tengah yaitu :

  1. Drs. Drs. H. Rusydi Saberi (14 November 1987 sd 19 Januari 1992)
  2. Drs. H. Sualim, S.H (20 Januari 1992 sd 22 September 1996)
  3. Drs. H. Rusdiansyah Asnawi, S.H (23 September 1996 sd 15 Oktober 2000 )
  4. Drs. H. Mahlan Umar, S.H (16 Oktober 2000 sd 29 Juli 2003 )
  5. Drs. H. M. Hasan H Muhamaad, S.H., M.H (30 Juli 2003 sd  24 April 2005)
  6. Drs. H. Fahrudin Hamid, S.H (15 April 2005 sd 22 September 2008)
  7. Drs. H. Said Husin, S.H., M.H (23 September 2008 sd 15 Maret 2010 )
  8. Drs. H. Samarcondy Nawawi, S.H., M.H (18 Maret 2010 sd 30 November 2011
  9. Drs. H. Rodlin Afif, S.H., M.H (30 Desember 2011 sd 01 September 2013)
  10. Drs. H. Abdul Halim Syahran, SH,. MH (3 Desember 2013 s.d. 18 Mei 2015).
  11. H. Helmy Bakri, SH., MH ( 16 Mei 2015 s.d. 30 September 2016).
  12. Drs. H. Sarif Usman, SH., MH (3 Oktober 2016 s.d. 24 Januari 2019).
  13. Drs. H. Shofrowi, SH., MH. (25 Januari s.d. 17 April 2020)
  14. Dr. H. Samparaja, SH., MH (17 April s.d. 8 Februari 2022)
  15. Drs. H. Sudirman S, SH., MH. (8 Februari 2022 sd. 02 Desember 2022
  16. Dr. H. Lutfi, S.H., M.H. (02 Desember 2022 sd. 07 Juni  2024) 
  17. Drs. H. Tarsi, M.H.I (07 Juni 2024 sd Sekarang)

Sejalan dengan pelaksanaan Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dalam upaya mewujudkan visi Mahkamah Agung menjadikan Badan Peradilan Indonesia yang Agung, Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya selama Tahun 2018 telah melakukan beberapa upaya yakni Peningkatan pelaksanaan Reformasi Birokrasi melalui pencangan Zona Integritas dengan pencapaian 6 sasasan stragegis dalam indikator kinerja utama. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi diupayakan mencapai Sasaran Prioritas berupa 5 Quick Wins yakni Transparansi Putusan, Manajemen IT, Implementasi Kode Etik, Pengelolaan PNBP dan Manajemen SDM. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi dilakukan pada 8 Area Perubahan, yakni Pola Pikir dan Budaya Kerja (Manajemen Perubahan), Penataan Peraturan Perundang-undangan, Penataan dan Penguatan Organisasi, Penataan Tata Laksana, Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur, Penguatan Pengawasan, Penguatan Akuntabilitas Kinerja dan Penguatan Kualitas Pelayanan Publik.

Demikanlah sejarah singkat tentang berdirinya Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya sampai sekarang.

                                                                  Palangka Raya, 8 Februari 2022